Senin, 12 Januari 2015

BIBIR SENJA

BIBIR SENJA
Karya Sulkhan Khoiri
Aku rindu pada bibir senja, adakah ia kan hadir kembali setelah sekian hari ia tak pernah aku jumpai. “widia” dialah sahabatku yang biasa ku tulis dalam diariku bibir senja. semenjak kematian ayahnya gadis imut berambut ikal mayang ini tak jarang membungkam diri, dia lebih banyak memilih untuk diam dari pada tersenyum.

Sebulan sebelum kematian pak nufus “ayah widia” seperti biasa di saat waktu senja yang tertuang adalah sajian senyum canda dan tawa segenap sahabat, semua lebih suka widia yang banyak tersenyum. Tapi kini bibir senja sudahlah tiada lagi. kini widia bukan widia yang dulu, yang tarian bibirnya mampu menjelmakan suasana terasa seperti di sudut nirwana.
Bibir Senja
Widia adalah sosok gadis yang berbakti pada orang tua, terpancar aura kepolosan dari tubuhnya mampu memberi kebeningan pada senja dari bening kedua matanya. Aku tahu apa yang dirasakan widia, anak semata wayang bu ratni ini masih sedih merasa kehilangan seorang ayah. Di sinilah aku mulai membuka memori yang dulu. ku pasang pandang kedua mataku pada perbatasan senja dan malam. dengan perlahan sisa semburan sinar matahari mulai sirna, angin yang berhembuspun mulai menebar aroma wangi sang malam.

Seiring terbukanya pintu malam terbukalah pintu masa laluluku. dulu aku juga pernah kehilangan seorang ayah, ketika aku berusia enam tahun, tapi aku tidak seperti widia yang setiap saat mengisi waktunya hanya dengan melamun. Saat itu rasa kabung melingkar dijiwaku, dan itu adalah sebuah kesedihan yang ngilu terasa dalam jiwa. Namun semua itu tak lama mengeram dibenakku, cukup seminggu aku merasa duka semua ku anggap angin lalu. atau mungkin karena saat itu aku baru berusia tunas hingga semudah itu aku bisa melupakan duka saat itu. sedangkan widia sekarang beranjak tiga belas tahun, mungkin ia sudah mengerti sungguh betapa berartinya kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.

Tak terasa pandang yang ku pasang sudah di tepian malam. sungguh betapa aku terkejut, ketika aku baru sadar dari lamunanku ternyata widia ada disampingku.
“melamun yah…” widia menegurku, suaranya lirih tatapannya lurus tak berliuk.
“tumben kamu keluar rumah wid… senja sudahlah beranjak pergi dan kini datang malam… sepertinya ada yang ingin kau kabarkan padaku…” aku mencoba menebak maksud kedatangan widia.
“mungkin hari ini adalah terakhir aku bertatap denganmu…” widia berucap, wajahnya berlahan mulai memerah.
“emang kamu mau kemana…?” tanyaku penasaran.
“tak sengaja tadi siang aku mendengar obrolan bu rina dan bu epi, bahwa burina sedang mencari anak perempuan untuk bekerja di rumah makan majikannya. disitulah kemudian aku berpikir panjang, dan akhirnya kebulatan hatiku memutuskan aku saja yang ikut bu rina. lalu aku datangi burina dan meminta diri ikut bersamanya, burina tanpa berpikir panjang menyetujui permintaanku”. widia menjelaskan maksudnya. kedua matanya separuh keduh, sepertinya akan membuncah hujan dari sudut kedua matanya.
“oh… di rumah makan burina yang di jakarta…?” lagi lagi aku mencoba menebak.
“iyah benar…” widia berujar, dengan mata yang berkaca-kaca.
aku jadi ikut terharu melihat yang sebentar lagi akan mengosongkan diri dari ruang cahaya persahabatan.
“terus bagaimana dengan sekolahmu wid…?” tanyaku
“ya terpaksa aku berhenti. ayahku sudah tiada, ibu sudah tak ada yang membantu cari nafkah lagi. lagian ibu takan sanggup membiyayaiku sekolah yang masih lama, dua setengah tahun lagi kan…” widia menjelaskan.

Widia memang anak yang berbakti pada orang tua. dari matanya berlahan meneteskan air mata ketika ia bercerita tentang ibunya yang malang, bicaranyapun tak jelas karena menahan tangis, hidungnya yang mungil berujung merah mega. Yang dulu bibir widia adalah tarian senja, kini berubah menjadi bibir tangisan malam, karena basah oleh air mata malam itu
“ya sudah gak usah bersedih…” aku sedikit menghibur widia.
“aku percaya padamu wid… kau adalah gadis yang berpendirian teguh. semoga kau dapatkan apa yang kau harapkan, dan mungkin hanya ini yang bisa ku bekali untukmu sebagai sahabat sedari kecil hingga sekarang dan mungkin hari inilah persahabatan kita terputus… entah berapa lama akan terputus…” aku menyambung pembicaraan, terus menghibur widia.

Hitam malam semakin pekat merata ke segala angkasa, hanya ada bening di sisi rembulan dan bintang, udara yang berhembuspun terasa dingin menjilat kulitku.
waktu terus berjalan, hanya tinggal menanti pagi dan widia harus pergi. Selamat menyongsong hidup yang kau harapkan wid… semoga tuhan memberi terang pada jalan hidupmu…

0 komentar:

Posting Komentar